Potensi Resiko KDMP: Bahan Analisis Manajemen Resiko

Pemerintah meluncurkan program Koperasi Desa Merah Putih (Kopdes Merah Putih) dengan semangat besar untuk membangkitkan ekonomi desa melalui koperasi serba usaha. Koperasi ini diharapkan akan mengelola tujuh unit bisnis sekaligus, mulai dari sembako, pupuk, gas LPG, penyediaan obat, digitalisasi layanan, hingga penguatan UMKM dan pangan lokal. Tujuan utama program adalah:

  1. Memperkuat ekonomi desa melalui usaha bersama.
  2. Menyediakan layanan murah seperti sembako, obat, atau simpan pinjam, dll sesuai unit bisnis yang dikelola.
  3. Mengurangi kemiskinan dengan melibatkan warga dalam pengelolaan usaha.

Meskipun Koperasi Desa Merah Putih mempunyai tujuan yang sangat mulia, namun, program ini juga menyimpan potensi risiko besar jika tidak dikelola dengan hati-hati dan bijak, mengingat pengalaman di masa lalu dalam pengembangan koperasi. Rencana pengembangan dan pembangunan Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih tidak bisa disusun dalam kertas putih tanpa memandang realitas yang sudah berlangsung. Perekonomian masyarakat desa/kelurahan yang sudah berlangsung harus tetap terlindungi dan dikembangkan.

Beberapa risiko yang berpotensi muncul jika Koperasi Desa Merah Putih tidak dikelola dengan hati-hati dan bijak, antara lain:

1. Tumpang Tindih dengan BUMDes

Sebagian besar desa sudah memiliki Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) yang berfungsi mengelola potensi ekonomi lokal. Kehadiran Kopdes Merah Putih yang diatur langsung dari pusat bisa menimbulkan konflik peran dan fungsi, apalagi jika jenis usaha yang digarap tumpang tindih, seperti toko sembako, pupuk, dan gas LPG.

Risikonya:

  • Persaingan tidak sehat antara dua lembaga desa.
  • Kemandirian dan eksistensi BUMDes terancam.
  • Kebingungan warga terhadap lembaga ekonomi desa.

Meskipun pemerintah menyatakan bahwa Kopdes Merah Putih akan menjadi mitra BUMDes, banyak pihak mengkhawatirkan potensi tumpang tindih fungsi dan usaha antara keduanya. Hal ini dapat menyebabkan kebingungan peran di lapangan dan perebutan sumber daya manusia serta dana. Alih-alih memperkuat desa, tumpang tindih kelembagaan justru bisa melemahkan keduanya. Persaingan tidak sehat antarlembaga, antarpengurus, antaranggota, dan lain-lain, memungkinkan untuk saling melemahkan.

2. Friksi dengan Koperasi yang Sudah Ada

Banyak desa, koperasi simpan pinjam atau koperasi “berdasarkan kebutuhan pendirian/anggota” sudah eksis dan berjalan cukup baik. Munculnya Kopdes Merah Putih dengan dukungan penuh dari pemerintah bisa memicu kecemburuan, apalagi jika mendapat prioritas dari perangkat desa.

Risikonya:

  • Konflik internal antarpengurus koperasi.
  • Rebutan sumber daya manusia dan anggota.
  • Melemahnya semangat kolektif antarwarga.

Hal ini dapat menyebabkan konflik internal antarpengurus koperasi dan melemahnya semangat kolektif antarwarga. Jangan sampai koperasi justru jadi sumber perpecahan dan menjadi pemersatu. Koperasi seharusnya dibentuk dengan semangat kemandirian, gotong royong, sebagai usaha bersama, yang dilandasi kebutuhan. Program KDMP yang merupakan program pemerintah pusat, jika tidak disosialisasikan kepada masyarakat secara massif, dapat memicu pandangan dan persepsi yang berbeda-beda.

3. Manajemen Tidak Profesional

Meskipun diarahkan menjalankan tujuh jenis usaha sekaligus, tidak semua SDM desa siap mengelola unit bisnis secara profesional. Fakta bahwa masyarakat desa tidak mempunyai kompetensi yang cukup untuk menjadi pengurus, akan membawa risiko kegagalan dalam menjalankan bisnis usaha koperasi. Tanpa pelatihan memadai, Kopdes Merah Putih bisa tumbang karena salah kelola.

Risikonya:

  • Gagal menjalankan usaha secara berkelanjutan.
  • Potensi kecurangan atau manipulasi data.
  • Dana koperasi habis tanpa hasil yang nyata.

Bahwa rendahnya kualitas SDM menjadi tantangan utama dalam pengelolaan koperasi. Banyak pelanggaran terjadi karena pengelola koperasi tidak kredibel dan masih terbatas pengetahuannya. Koperasi bukan tempat belajar sambil jalan, apalagi jika yang dipertaruhkan adalah uang dan kepercayaan publik.

4. Risiko Kredit Macet dari Bank Negara

Pemerintah menggandeng bank negara untuk membiayai Kopdes Merah Putih. Tapi tanpa manajemen keuangan dan bisnis yang baik, pinjaman bisa berubah jadi beban. Pinjaman harus dikembalikan dan bukan menjadi hibah. Pengelolaan usaha yang tidak tepat, bahkan gagal, maka tidak menghasilkan keuntungan sehingga pembayaran pinjaman bank akan macet. 

Risikonya:

  • Kredit macet meningkat.
  • Bank jadi enggan mendukung sektor desa.
  • Program pemberdayaan desa malah terhambat.

Koperasi yang gagal bukan hanya soal rugi, tapi soal kepercayaan yang ambruk. Kegagalan dalam pengelolaan koperasi akan berdampak luas karena masyarakat menjadi tidak percaya kepada pengurus, kepada lembaga koperasi dan apatis terhadap program pembangunan desa.

5. Pendekatan Sentralistik

Koperasi semestinya lahir dari bawah dari musyawarah warga dan kebutuhan riil. Tapi Kopdes Merah Putih lahir lewat instruksi pusat, dengan paket usaha yang diseragamkan. Koperasi haruslah menjadi kebutuhan masyarakat, tidak saja membangun mimpi besar diatas kertas kosong, tetapi harus didasarkan pada realitas yang hidup di masyarakat dan mengembangkan dengan semangat kebersamaan, gotong royong dan kemandirian.

Risikonya:

  • Warga tidak merasa memiliki koperasi.
  • Pengurus dipilih karena kedekatan, bukan kapasitas.
  • Budaya koperasi jadi lemah dan formalitas semata.

Pendekatan top-down dalam pembentukan Kopdes Merah Putih bertentangan dengan prinsip-prinsip koperasi yang otonom dan mandiri. Hal ini dapat menyebabkan warga tidak merasa memiliki koperasi dan pengambilan keputusan dikuasai segelintir elite desa. Tidak melibatkan masyarakat dalam pemilihan pengurus namun lebih mengarah pada penunjukan oleh elite desa. Tanpa akar partisipasi, koperasi hanya jadi proyek, bukan Gerakan yang berkelanjutan.

6. Risiko Politisasi Koperasi

Koperasi yang dibiayai negara, dikelola elite lokal, dan punya jangkauan luas sangat rawan disusupi agenda politik. Kekuatan koperasi pada dasarnya adalah partisipasi anggota. Jika anggota koperasi mulai disusupi oleh agenda politik maka kemandirian koperasi akan hancur, dan menjadi konflik antaranggota yang selanjutnya koperasi mengalami kegagalan. 

Risikonya:

  • Koperasi disusupi kepentingan elite politik.
  • Pengambilan keputusan tidak lagi independen.
  • Warga terpecah secara politik karena kepentingan masing-masing.

Dengan dana besar dan posisi strategis, Kopdes Merah Putih bisa menjadi kendaraan politik, terutama menjelang pemilu. Hal ini dapat menyebabkan koperasi disusupi kepentingan elite politik dan pengambilan keputusan tidak lagi independen. Jika ini terjadi, maka koperasi akan kehilangan ruhnya sebagai wadah ekonomi kolektif.

7. Ketergantungan pada Bantuan Pemerintah

Sebagian besar unit usaha Kopdes Merah Putih berbasis barang dan jasa bersubsidi. Tanpa inovasi, koperasi hanya jadi perpanjangan tangan program sosial. Jika kemudian unit usaha Kopdes Merah Putih didorong untuk berbasis pada barang dan jasa subsidi, seperti pupuk, gas, bansos, dan sembako, ini membuat koperasi tidak tumbuh mandiri.

Risikonya:

  • Koperasi hanya jadi “penyalur bantuan”, bukan pelaku usaha sejati.
  • Tidak ada inovasi usaha.
  • Koperasi bisa mati jika subsidi berhenti.

Jika hal ini terjadi maka akan membuat koperasi tidak tumbuh mandiri dan hanya menjadi “penyalur bantuan”, bukan pelaku usaha sejati. Desa perlu usaha produktif, bukan sekadar distribusi bantuan semata. Desa harus berdaya mengandalkan potensi lokal untuk bisa dikembangkan dan dipasarkan, sehingga desa akan berkembang menjadi pusat produksi.

8. Beban Administratif dan Laporan Berlebihan

Program pemerintah biasanya menuntut laporan rutin, audit, dan dokumentasi administratif yang rumit. Jika pengurus Kopdes Merah Putih tidak dibekali pelatihan yang memadai, mereka bisa kewalahan, dan laporan menjadi formalitas belaka.

Risikonya:

  • Waktu dan energi habis untuk urusan birokrasi.
  • Laporan jadi formalitas belaka.
  • Potensi manipulasi data meningkat.

Tuntutan untuk menyampaikan laporan yang banyak dan cenderung rigit, kaku dengan format yang baku, seringkali menyita waktu dan hanya menjadi formalitas sehingga tidak dapat berfungsi sebagai upaya pengendalian kemajuan atau mencerminkan kondisi yang sebenarnya. Pengurus koperasi jika tidak dibekali dengan pengetahuan tentang pelaporan akan cenderung ngawur dan seadanya, bahkan mengarang tanpa mempertimbangkan kondisi aktual.

9. Mematikan UMKM Lokal yang Sudah Ada

Jika usaha yang dijalankan Kopdes Merah Putih, berupa toko sembako, LPG, pupuk, jasa digital bisa jadi sudah dijalankan oleh UMKM lokal selama bertahun-tahun. Jika koperasi mengambil alih pasar dengan harga subsidi, UMKM bisa kalah bersaing dan akhirnya gulung tikar. Koperasi dengan dukungan pemerintah, jika berjalan dengan sukses akan menguasai pasar, sedangkan UMKM yang sudah lama, eksistensinya akan terancam sehingga akan kehilangan pekerjaan dan menciptakan pengangguran baru.

Risikonya:

  • Warung rakyat gulung tikar.
  • Ekonomi lokal dikuasai koperasi, bukan warga secara luas.
  • Hubungan sosial antarwarga bisa terganggu.

Pemberdayaan sejati bukan soal siapa yang kuat, tapi siapa yang ikut berdaya. Koperasi yang bergerak maju dengan jaringan pasar yang semakin kuat akan melemahkan bahkan mematikan keberadaan UMKM yang sudah ada.

10. Rendahnya Partisipasi Warga

Karena dibentuk dari pusat, banyak warga tidak merasa ikut dalam proses lahirnya koperasi. Mereka hanya jadi konsumen, bukan pemilik dan penggerak, sehingga tidak ada rasa memiliki dan koperasi kehilangan semangat gotong royong dan kebersamaan. Jati diri koperasi menjadi terganggu dan orientasi bisnis yang semakin kuat.

Risikonya:

  • Tidak ada rasa memiliki.
  • Rapat anggota tahunan hanya formalitas.
  • Koperasi kehilangan semangat gotong royong.

Tanpa partisipasi, koperasi kehilangan jantungnya. Koperasi yang tidak lahir dari semangat kebersamaan dan kebutuhan masyarakat, pada akhirnya hanya akan menjadi ruang kosong tanpa partisipasi anggota.

11. Digitalisasi Tidak Siap

Salah satu usaha Kopdes Merah Putih dalam upaya siap digital adalah layanan digital sederhana seperti (top-up, SIM card, dll). Namun, infrastruktur digital dan literasi SDM masih rendah di banyak desa, sehingga layanan digital koperasi bisa mandek dan sistem rawan error atau disalahgunakan.

Risikonya:

  • Layanan digital koperasi mandek.
  • Sistem rawan error atau disalahgunakan.
  • Warga bingung mengakses layanan koperasi.

Digitalisasi perlu kesiapan, bukan hanya sekadar tren. Kesiapan infrastruktur dalam digitalisasi terutama adalah jaringan. Jika infrastruktur tidak terpenuhi maka digitalisasi koperasi juga tidak akan berjalan lancar.  

12. Lemahnya Pengawasan dan Transparansi

Pengawasan terhadap pengelolaan koperasi sangat penting, terutama jika menyangkut dana besar dan kepercayaan publik. Tanpa audit independen dan laporan keuangan yang terbuka, potensi korupsi dan penyalahgunaan akan meningkat.

Risikonya:

  • Tidak ada audit independen.
  • Laporan keuangan tidak terbuka.
  • Potensi korupsi dan penyalahgunaan meningkat.

Transparansi bukan tambahan, tapi syarat utama koperasi bisa bertahan. Untuk meningkatkan kepercayaan publik dan anggota, maka koperasi perlu dikelola secara transparan dan setiap anggota diberi akses untuk memeriksa. Jika tidak dilakukan maka cenderung menurunkan kepercayaan publik dan anggota serta akan berdampak pada menurunnya partisipasi anggota. 

Jangan Ulangi Kesalahan Masa Lalu

Program Koperasi Desa Merah Putih memiliki potensi besar untuk memajukan desa. Namun, tanpa mitigasi risiko, program ini bisa menjadi boomerang bahkan memperburuk ekonomi desa yang seharusnya diberdayakan. Jangan sampai koperasi kembali hanya menjadi “proyek atas nama rakyat” yang gagal total seperti masa lalu.

Warga desa, perangkat, dan pengambil kebijakan perlu memastikan bahwa koperasi yang lahir adalah koperasi sejati: tumbuh dari bawah, dikelola secara profesional, terbuka, dan benar-benar bermanfaat untuk masyarakat luas. Koperasi bukan sekadar lembaga, ia adalah semangat kolektif yang tumbuh dari kepercayaan, kerja sama, dan kemandirian.

Program Koperasi Desa Merah Putih bisa menjadi loncatan besar atau jebakan baru tergantung bagaimana ia dibangun. Jangan ulangi kesalahan masa lalu. Jangan jadikan desa kelinci percobaan atas nama pembangunan. Koperasi sejati hanya bisa lahir dari warga, untuk warga, dan dijalankan oleh warga yang berdaya.

Karena koperasi bukan hanya soal lembaga, tapi soal semangat bersama membangun masa depan desa. Oleh karenanya, koperasi harus lahir dari kebutuhan bersama dan benar-benar mengakar pada setiap anggota. Koperasi Desa Merah Putih, disamping menyimpan potensi kemajuan desa, juga akan menjadi mimpi buruk jika tidak dikelola dengan benar.

Setiap harapan yang hendak diraih selalu ada tantangan yang akan muncul. Dengan semangat kebersamaan dan menyatukan kekuatan, maka hal yang menjadi angan-angan dapat diwujudkan dalam realita.

Koperasi Merah Putih menjaring aspirasi, mewujudkan potensi….Penulis: Andi Pramaria – Widyaiswara Ahli Utama Balatkop UKM NTB Jl. Pemuda 20-Mataram   

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *