Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) selama ini dikenal sebagai daerah tambang emas dan pariwisata. Namun, realitas di lapangan menunjukkan bahwa kontribusi pertambangan terhadap ekonomi masyarakat sangat kecil. Sebagian besar keuntungan hanya dinikmati perusahaan besar dan pemerintah pusat melalui royalti, sementara masyarakat lokal hanya menjadi penonton.
Berbeda halnya dengan sektor pertanian, peternakan, perikanan, dan ekonomi kreatif. Sektor-sektor ini, jika didorong dengan strategi hilirisasi, justru mampu memberikan nilai tambah yang langsung dirasakan masyarakat. Kuncinya adalah mengolah sumber daya lokal agar tidak berhenti sebagai bahan mentah, melainkan menjadi produk bernilai tinggi yang bisa masuk pasar wisata, domestik, maupun ekspor.
Potensi Besar, Nilai Tambah Masih Kecil
• Pertanian: jagung, padi, kedelai, bawang merah, kopi, kakao, kelapa, dan rumput laut merupakan komoditas unggulan NTB. Sayangnya, sebagian besar masih dijual mentah tanpa diolah. Hal ini bisa dilihat pada kontribusi sektor pertanian yang cukup tinggi (22-24%) tetapi sektor industri stagnan pada 4%.
• Peternakan: NTB dikenal sebagai lumbung daging nasional, tetapi distribusi sapi lebih banyak dalam bentuk ternak hidup, bukan olahan yang dapat memberi nilai tambah. Hasilnya hanya akan mendapatkan nilai seharga sapi dan tidak ada nilai tambah yang diperoleh.
• Pariwisata: wisatawan yang datang ke Lombok dan Sumbawa menjadi pasar besar, tetapi produk UMKM lokal masih kalah oleh barang-barang dari luar daerah. Pariwisata masih belum terintegrasi yang kuat dengan produk-produk UMKM sebagai souvenir. Hasilnya produk UMKM masih belum mampu bergerak meskipun wisatawan berdatangan.
• Ekonomi kreatif: tenun, kerajinan kayu, dan mutiara masih berfokus pada bentuk tradisional, belum masuk ke desain modern yang diminati pasar global. Artinya produk-produk ekonomi kreatif masih belum mampu menyesuaikan dengan minat pasar.
Hilirisasi UMKM: Dari Desa ke Pasar Dunia
Hilirisasi berarti memindahkan pusat nilai tambah ke tangan masyarakat. Contoh sederhana:
• Jagung tidak hanya dijual pipilan, tapi diolah menjadi tepung, pakan ternak, hingga camilan sehat.
• Kopi dan kakao tidak sekadar biji ekspor, melainkan bubuk siap saji, cokelat batangan, atau minuman kemasan.
• Rumput laut diolah menjadi agar-agar, jelly, bahkan kosmetik herbal.
• Sapi diolah menjadi abon, dendeng, bakso beku, atau susu fermentasi.
• Tenun songket dipasarkan bukan hanya sebagai kain panjang, tapi juga fashion modern: tas, sepatu, dan aksesoris.
Dengan cara ini, harga produk bisa naik 2–10 kali lipat, dan keuntungan tinggal di masyarakat.
Strategi Hilirisasi UMKM NTB
1. Pemetaan potensi desa
Setiap desa punya kekuatan berbeda, mulai dari jagung di Sumbawa, susu kuda liar di Bima, hingga tenun di Lombok, dan lain-lain. Potensi ini harus dipetakan sebagai dasar hilirisasi.
2. Integrasi dengan pariwisata
Pasar wisatawan adalah pintu emas. Oleh karena itu, produk UMKM perlu disesuaikan dengan selera wisatawan, lengkap dengan kemasan menarik dan sertifikasi halal.
3. Koperasi & BUMDes sebagai aggregator
UMKM kecil sulit masuk pasar ekspor sendirian. Koperasi atau BUMDes bisa menjadi lembaga yang mengkonsolidasikan produksi, sekaligus menghubungkan dengan pasar.
4. Branding “Made in NTB”
Setiap produk lokal perlu diberi identitas. Misalnya Coklat Rinjani, Songket Mandalika, atau Mutiara Lombok. Branding inilah yang membedakan produk NTB dengan daerah lain.
5. Dukungan teknologi & digitalisasi
UMKM harus dilatih mengakses e-commerce, memanfaatkan media sosial, dan menggunakan teknologi sederhana untuk meningkatkan kualitas produk dan memperluas pasar.
NTB Harus Menjadi Sentra Hilirisasi Desa
Bonus demografi dan geliat UMKM di NTB harus diarahkan pada hilirisasi berbasis potensi lokal. Dengan strategi ini, NTB tidak lagi hanya dikenal sebagai daerah tambang, tetapi juga sebagai pusat produk olahan bernilai tinggi.
Hilirisasi UMKM bukan hanya soal ekonomi, tetapi juga kemandirian, keadilan, dan masa depan. Ketika desa-desa mampu mengolah hasilnya sendiri, maka NTB akan benar-benar berdaulat atas sumber daya yang dimilikinya. Disisi lain, serapan tenaga kerja akan semakin tinggi.
Penulis: Andi Pramaria-Widyaiswara Ahli Utama Balatkop UKM-NTB
